Kamis, 12 November 2015

TRIP KE TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG

Sekitar bulan Oktober 2014 lalu, saya berkesempatan berkunjung ke Makassar, Sulawesi Selatan. Makassar sendiri adalah ibukota dari Sulawesi Selatan, sekaligus sebagai pintu gerbang untuk wilayah Indonesia timur. Hal ini disebabkan karena sebagian besar transpotasi udara maupun laut akan melakukan persinggahan di Makassar sebelum menuju ke tempat lainnya di Indonesia bagian timur.
Di kota ini, anda akan menjumpai beberapa hal unik seperti bentor, becak yang menggunakan mesin sepeda motor sebagai penggerak, dan berbagai hal lainnya. Disamping itu, Kota Makassar juga terkenal dengan makanannya. Di kota ini, anda  dapat menikmati berbagai olahan ikan, karena tempatnya yang dekat dengan pantai dan laut. Disamping itu, ada juga beberapa makanan khas kota Makassar seperti, Palu Bassa, Es Palu Butung, Jalangkote, Konro, dan Cotto Makassar. Hal unik lainnya yang bisa anda temukan adalah adanya banyak warung kopi (warkop). Hampir di setiap sudut Kota Makassar terdapat warkop.
Oke, sedikit saja tentang Kota Makassar, karena saya ingin menceritakan pengalaman saya saat berkunjung ke Kabupaten Maros. Oh ya, meskipun hanya setingkat kabupaten, Maros memiliki sebuah bandara internasional, yakni Bandara  Internasional Sultan Hassanudin. Jadi, kalau mau berkunjung ke Sulawesi Selatan dengan jalur penerbangan, dapat dipastikan anda akan mendara di bandara ini.
Baik, tempat wisata yang saya kunjungi di Kabupaten Maros adalah Taman Nasional Bantimurung. Awalnya, saya tidak berniat datang ke tempat ini, karena pada awalnya saya hanya mengikuti teman saya yang menghadiri acara enduro motor trail di Maros. Namun, hanya tersedia satu motor, jadi saya ditinggalkan oleh teman saya tersebut. Karena acara tersebut berlangsung cukup lama, saya pun memutuskan untuk mencari alternatif lain dalam mengisi waktu untuk menunggunya kembali. Hal yang saya lakukan adalah mencari tempat wisata terdekat, Taman Nasional Bantimurung.
(Posisi start kompetisi enduro motor trail di Maros)

Tanpa pikir panjang, saya dan dua teman lainnya langsung menuju ke tempat tersebut. Dengan mengandalkan global positioning system (GPS), kami melesat ke Bantimurung. Sesampainya disana, mata kami cukup dimanjakan dengan pemandangan yang cukup bagus. Kondisi geografis disana didominasi oleh perbukitan dan tebing-tebing yang tinggi. Disalah satu tebing tersebut, terdapat tulisan “Taman Nasional Bantimurung”. Ya, langsung saja kami berhenti sejenak dan berfoto.

(Tulisan Taman Nasional Bantimurung di salah satu dinding bukit. Sumber: triptrus.com)

Tidak hanya itu, ketika memasuki gerbang taman nasional ini, kita juga akan disambut oleh patung kupu-kupu dan gorilla yang sangat besar. Patung kupu-kupu dipajang di tempat ini karena Bantimurung merupakan salah satu panangkaran kupu-kupu yang ada di Indonesia. Sayangnya, kami datang disaat musim kemarau. Ekspektasi saya ketika datang ke tempat tersebut adalah mengihirup udara yang sejuk karena disana masih cukup hijau dan terdapat banyak pohon-pohon besar. Tapi sayang, sebagian besar wilayah di Sulawesi Selatan memiliki iklim yang tropis, sehingga udaranya cukup panas, begitupun dengan Bantimurung.


(Patung kupu-kupu di pintu gerbang Taman Nasional Bantimurung)

(Patung gorila di pintu gerbang Taman Nasional Bantimurung)


Di tempat ini, saya sama sekali tidak menemui adanya kupu-kupu yang berterbangan dengan bebasnya. Mungkin belum musimnya. Jadi, yang ada hanyalah kupu-kupu yang telah diawetkan oleh penduduk setempat, yang kemudian dibingkai untuk dijadikan “oleh-oleh” khas Bantimurung.

(chemistrahmah.com)

Lebih lanjut berjalan, saya menemui hal unik, yakni sebuah kolam yang dapat mempermudah kita mendapat jodoh jika kita mandi di tempat tersebut. Awalnya saya berniat untuk mandi di tempat tersebut, tetapi, saya berpikir bahwa belum waktunya mendapatkan jodoh. Jadi bagi yang belum atau susah mendapatkan jodoh, mungkin bisa datang ke tempat ini.



(Tabel Kolam Jamala di Taman Nasional Bantimurung yang konon dapat mempermudah mendapat jodoh)

(Kolama Jamala)

Selain penanggakaran kupu-kupu, di Bantimurung juga terdapat sebuah air terjun, tetapi dengan debit air yang tidak begitu tinggi. Tempat ini juga sering dijadikan sebagai tempat bermain air oleh sejumlah wisatawan yang datang. Air yang mengalir ini pun cukup bersih dan jernih, bahkan air ini digunakan sebagai salah satu sumber air yang dialirkan melalui sebuah pipa besar. Entah, digunakan untuk sumber air minum atau hanya sumber air pertanian.



(Air terjun di Taman Nasional Bantimurung)

Tidak hanya bermain air, para pengunjung pun dapat menuju ke sumber air tersebut, karena disamping air terjun tadi, disediakan sebuah tangga menuju ke atas. Dan ternyata sumber airnya tidak begitu jauh dari air terjun tersebut, tetapi kita harus berjalan kaki. Untuk dapat sampai ke sumber airnya, telah disediakan jalan-jalan setapak yang sangat mudah untuk diikuti. Tidak hanya itu, di sepanjang jalan setapak tersebut, ada beberapa pedagang yang menjajakan makanan di warung-warung kecil.
(Jembatan menuju ke sumber air)


Dalam perjalanan di jalan setapak itu, kita juga dapat melihat aliran air yang menuju ke air terjun tadi. Air yang mengalir tersebut, tampak sangat jernih, bahkan warnanya seperti berubah menjadi biru. Sungguh indah. Akhirnya, setelah cukup jauh berjalan, saya sampai di sumber air yang ternyata adalah sebuah  telaga kecil dengan airnya yang berwarna biru.


(Air berwarna biru yang menuju ke air terjun)
(Hulu air terjun yang merupakan telaga berwarna biru)

Tidak jauh dari danau tersebut, tepatnya bersebelahan, ada sebuah gua yang juga menjadi objek wisata di tempat tersebut. Gua ini memang tidak memilik tembusan, tetapi jangan khawatir jika teman-teman ingin masuk ke dalamnya, karena ada sejumlah orang yang bersedia menjad guide. Tentunya kita harus memberi sejumlah imbalan kepada mereka. Untungnya pada saat saya dan 2 teman saya datang kesana, ada sejumlah pemuda yang juga berniat masuk ke gua tersebut. Alhasil, kami pun membuntutinya, hehe. Dengan maksud supaya tidak membayar jasa guide tersebut.

(Kondisi di dalam gua)

(Kondisi di dalam gua)

(Coretan di dalam gua)



Minggu, 13 September 2015

TRIP TIGA PULAU SEJARAH

Kemarin, pas hari Minggu, 13 September 2015, Saya berkesempatan untuk mengunjungi pulau tiga sejarah, Pulau Kelor, Pulau Cipir, dan Pulau Onrust. Perjalanan ini saya lakukan dengan mengikuti program open trip dari salah satu situs internet. Untuk mengikuti perjalanan ini, biaya yang diperlukan hanya seratus ribu aja, murah meriah lah.
Dengan biaya seratus ribu itu, kita sudah bisa ikut perjalanan dan tidak perlu lagi memikirkan masalah transportasi dari lokasi untuk mencapai ke tiga pulau tersebut. Disamping itu, kita juga akan mendapatkan akomodasi lain berupa makan siang.
Dalam ketentuannya, para peserta harus berkumpul paling lambat di meeting point, yakni di Dermaga Kamal Muara, Jakarta Utara, pada pukul 07.30 WIB. Pada saat itu, saya berangkat dari kediaman pukul 05.45 WIB dan sampai disana pukul 07.00. Lumayan lama, karena saya sama sekali tidak mengetahui tempatnya dan hanya mengandalkan Global Positioning System (GPS). Dari kediaman, saya berangkat dengan menggunakan sepeda motor.
Sesampainya di Kamal Muara, saya langsung disambut dengan aroma yang kurang sedap, karena tepat di samping dermaga tersebut terdapat pasar ikan. Disamping itu, pasar ini juga cukup ramai jika pagi hari. Lalu bagaimana dengan kendaraan yang digunakan? Tenang saja, di Dermaga Kamal Muara juga terdapat tukang parkir. Jadi, sepeda motor bisa dititipkan disana.
Dermaga Kamal Muara sangat mudah ditemukan, karena bangunannya yang berdiri tegak dengan  kombinasi, yakni biru dan putih. Bangunan ini memiliki 2 lantai, di bagian atasnya mushola dan bagian bawahnya adalah tempat makan atau kantin. Jika teman-teman belum sempat sarapan pagi, kalian dapat melakukannya disana meskipun menunya hanya terbatas pada mie instan plus telor. Lumayan lah, bisa mengganjal perut.
Setelah menunggu beberapa saat, saya belum menemukan adanya tanda-tanda dari penyelenggara. Akhirnya, saya menghubungi nomor atau contact person yang tercantum di situs tempat memesan tiket perjalanan ini. Dari nomor tersebut, saya diarahkan kepada penyelenggara lapangannya. Ternyata dia telah berada disana sebelum saya sampai.
Setelah peserta yang terkumpul cukup banyak, penyelenggara lapangan tersebut pun memberi pengarahan kepada kami terkait ketentuan dalam perjalanan nantinya. Salah satunya adalah, “Jangan buang sampah sembarangan.” Disamping itu, kami kemudian melakukan doa bersama sebelum melakukan perjalanan.
Akhirnya, sekitar pukul 08.00 WIB, saya bersama teman-teman baru dalam satu rombongan yang berjumlah sekitar 20 orang berangkat ke Pulau Kelor. Perjalanan ke Pulau Kelor ditempuh dengan menggunakan perahu mesin. Namun, menurut Saya, kapal yang kami tumpangi tersebut kurang layak, karena tidak menyediakan pelampung keselamatan. Disamping itu, kapal tersebut juga tampak cukup tua. Kecepatannya pun tidak begitu kencang dan suaranya juga cukup bising.

(Perjalanan menuju ke Pulau Kelor)
(Perjalanan menuju ke Pulau Kelor)

Perjalanan laut ini  terasa cukup menegangkan, karena terkadang gelombang air laut meninggi dan merendah. Disamping itu, ini merupakan pengalaman pertama saya menaiki perahu mesin di tengah lautan. Sebelumnya, saya sudah cukup sering menaiki kapal Feri, namun rasanya tidak menegangkan seperti yang saya rasakan saat ini. Mungkin ini karena jarak kita dengan air laut sangatlah dekat.

Pulau Kelor


(Pulau Kelor, sesaat sebelum berlabuh)

Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih 30 s.d 45 menit, kami akhirnya tiba di Pulau Kelor. Pulau Kelor merupakan pulau terkecil diantara ketiga pulau yang akan dikunjungi. Di pulau ini, terdapat sebuah benteng yang masih berdiri kokoh. Benteng tersebut bernama Benteng Martello.


(Benteng Martello)

Dulu, terdapat tiga benteng sejenis. Namun, karena tergerus oleh ombak laut Jawa yang cukup kencang, dua diantara benteng tersebut akhirnya roboh. Kini, hanya ada satu benteng yang berdiri di tempat tersebut. Namun, beberapa pihak mengatakan bahwa beberapa Benteng Martello tersebut rusak karena letusan Gunung Krakatau tahun 1883.
Untuk mengurangi abrasi yang terjadi, pengelola juga memasang pemecah ombak, sehingga tidak merusak pulau tersebut.
Pada saat kami kesana, disana juga sedang dilakukan pembangunan di sejumlah bagiannya. Disamping terdapat bangunan sejarah, Pulau Kelor juga memiliki pantai yang cukup bagus. Di tempat ini juga, kita bisa berfoto dengan sesuka hati karena tempatnya sangat cocok untuk mengambil gambar.
Setelah kurang lebih dua jam berada di Pulau Kelor, perjalanan pun dilanjutkan dengan menggunakan kapal kecil yang kami gunakan sebelumnya.

  
Pulau Cipir


Pulau ini merupakan pulau kedua yang kami kunjungi. Letak Pulau Cipir juga masih berdekatan dengan Pulau Kelor, kira-kira perjalanan selama 15 menit dengan menggunakan kapal.
Setelah sampai di Pulau Cipir, hal pertama yang kami lakukan adalah berfoto. Namun, sayangnya kondisi di Pulau Cipir kurang bagus karena sebagian besar bangunan sisa sejarah di tempat tersebut telah rusak. Hanya ada sisi tembok dari bangunan Rumah Sakit peninggalan masa penjajahan Belanda.
Disamping itu, di tempat ini juga terdapat sebuah meriam peninggalan perang Belanda-Inggris pada tahun 1800-1810. Sudah cukup tua. Kesan pertama ketika melihat meriam tersebut, saya langsung teringat sebuah game yang sering saya mainkan.

(Meriam peninggalan perang Belanda - Inggris)

Di Pulau Cipir, kami beristirahat bersama, karena pihak penyelenggara perjalanan telah menyiapkan santap siang. Santap siang ini juga udah termasuk kedalam biaya akomodasi. Makanannya pun cukup enak dengan bungkus kota berwarna putihnya.
Satu hal yang perlu diingat ketika melakukan perjalanan wisata, jagalah kebersihan. Karena kalau mengandalkan penjaga pulau, tentu sangat tidak memungkinkan. Jadi, kalau mau lokasi wisata Indonesia terus dikunjungi oleh wisatawan, jangan lupa ya jaga kebersihan.
Di pulau ini juga terdapat sebuah tempat makan, semacam warung sederhana yang menjual sedikit makanan. Disamping itu, ada juga kelapa muda yang segar, tentunya cocok diminum saat cuaca sedang panas.
Dahulu, Pulau Cipir dengan Pulau Onrust sebenarnya dihubungkan oleh sebuah jembatan atau tanggul penghubung. Namun sayangnya, jembatan atau tanggul penghubung tersebut telah rusak karena diterjang oleh ombak.

(Salah satu sisi di Pulau Cipir dan bekas jembatan atau tanggul penghubung antara Pulau Cipir dan Pulau Onrust)

Setelah asik berfoto dan bermain-main di Pulau Cipir, pukul 12.30 WIB, rombongan pun melanjutkan perjalanan ke Pulau Onrust.

(Foto bersama di pintu masuk Pulau Cipir)

Pulau Onrust


(Salah satu sisi di Pulau Onrust)


Pulau Onrust ini konon katanya berarti tidak istirahat, atau unrest dalam bahasa Inggris. Dibandingkan dengan dua pulau sebelumnya, Pulau Onrust merupakan pulau yang paling luas. Tetapi, saya tidak tahu pasti seberapa lebar pulau ini.
Di pulau ini juga fasilitasnya lebih lengkap, karena terdapat tempat ibadah berupa musholla dan kantin yang cukup lengkap persediaannya. Namun, saya sempat merasa tidak nyaman karena semua air yang digunakan untuk mencuci tangan atau kaki di Pulau Onrust merupakan air laut, sehingga terasa asin.
Rasa capek yang bertemu dengan rasa dahaga segera kami hapus dengan segarnya air kelapa muda dicampur es dan gula jawa. Sruuuuuuuuputtttt…. Segar.
Setelah cukup beristrahat, kami pun melanjutkan wisata sejarah di pulau ini. Objek pertama yang kami kunjungi adalah rumah peninggalan seorang dokter pada zaman penjajahan Jepang yang kini dijadikan museum untuk menyimpan berbagai benda sejarah. Tidak hanya itu, di pulau ini juga terdapat miniautur yang merupakan replica dari bangunan yang ada di Pulau Onrust.
Pulau Onrust dahulunya digunakan sebagai tempat peristirahatan oleh raja-raja Banten. Tetapi dalam perkembangannya, terjadi persengketaan antara raja Banten dengan Jayakarta. Hingga akhirnya Belanda datang menjajah.
Belanda menjadikan Pulau Onrust sebagai karantina calon haji dan para haji yang pulang dari ibadahnya di Saudi Arabia. Menurut cerita, hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menetralisir berbagai pemikiran pemberontakan. Namun, di pulau ini juga terdapat makam dari orang-orang Belanda yang meninggal dunia karena penyakit yang disebarkan oleh tikus.
Selanjutnya, pada masa penjajahan Jepang, Pulau Onrust dijadikan sebagai pada masa penjajahan Belanda. Kemudian pada masa Penjajahan Jepang, tempat ini dijadikan sebagai penjara dan pengasingan atau penjara bagi penjahat kriminal kelas berat.
Hingga akhirnya pada masa Kemerdekaan, Pulau Onrust dijadikan sebagai Rumah Sakit Karantina, tempat penampungan bagi  para gelandangan dan pegemis. Bahkan sempat dimanfaatkan sebagai tempat latihan militer.
Dibalik cerita sejarah Pulau Onrust ini, tersimpan sebuah kisah cinta antara sepasang pemuda dan pemudi bangsa Belanda. Namun, sayangnya kisah tersebut cukup menyedihkan karena perempuan Belanda ini tidak sempat melihat lagi kekasihnya yang berencana akan menyusulnya ke Pulau Onrust. Hingga akhirnya, si perempuan tersebut meninggal dunia karena sakit yang dideritanya.
Rasa cinta si perempuan Belanda terhadap kekasihnya tersebut juga diabadikan melalui sebuah puisi. Yang mana, puisi tersebut juga diabadikan diatas batu nisan perempuan Belanda tersebut. Namun, sayangnya bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda, sehingga jarang yang memahaminya. Namun, hampir setiap hari di makam tersebut terdapat bunga melati. Sehingga menambah kesan mistis pada makam tersebut.

(Puisi di atas batu nisan perempuan Belanda)
Disamping itu, di Pulau Onrust ini juga terdapat tiga makam keramat yang konon katanya, salah satu dari makam tersebut merupakan makam dari Kartosoewiryo, tokoh DI/TII yang dihukum mati pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Wusssss, semakin mistis.

Penasaran? Buruan dateng, dan lestarikan cagar budaya kita!

Setelah asik berjalan-jalan, kami pun sampai di penghujung wisata tiga pulau ini. Kegiatan ini pun kami tutup dengan berfoto bersama.



(Foto bersama di situs Pulau Onrust)