Kemarin, pas hari Minggu, 13 September 2015, Saya
berkesempatan untuk mengunjungi pulau tiga sejarah, Pulau Kelor, Pulau Cipir,
dan Pulau Onrust. Perjalanan ini saya lakukan dengan mengikuti program open trip dari salah satu situs
internet. Untuk mengikuti perjalanan ini, biaya yang diperlukan hanya seratus
ribu aja, murah meriah lah.
Dengan biaya seratus ribu itu, kita sudah bisa
ikut perjalanan dan tidak perlu lagi memikirkan masalah transportasi dari
lokasi untuk mencapai ke tiga pulau tersebut. Disamping itu, kita juga akan
mendapatkan akomodasi lain berupa makan siang.
Dalam ketentuannya, para peserta harus
berkumpul paling lambat di meeting point,
yakni di Dermaga Kamal Muara, Jakarta Utara, pada pukul 07.30 WIB. Pada
saat itu, saya berangkat dari kediaman pukul 05.45 WIB dan sampai disana pukul
07.00. Lumayan lama, karena saya sama sekali tidak mengetahui tempatnya dan
hanya mengandalkan Global Positioning
System (GPS). Dari kediaman, saya berangkat dengan menggunakan sepeda
motor.
Sesampainya di Kamal Muara, saya langsung
disambut dengan aroma yang kurang sedap, karena tepat di samping dermaga
tersebut terdapat pasar ikan. Disamping itu, pasar ini juga cukup ramai jika
pagi hari. Lalu bagaimana dengan kendaraan yang digunakan? Tenang saja, di
Dermaga Kamal Muara juga terdapat tukang parkir. Jadi, sepeda motor bisa
dititipkan disana.
Dermaga Kamal Muara sangat mudah ditemukan,
karena bangunannya yang berdiri tegak dengan kombinasi, yakni biru dan putih. Bangunan ini
memiliki 2 lantai, di bagian atasnya mushola dan bagian bawahnya adalah tempat
makan atau kantin. Jika teman-teman belum sempat sarapan pagi, kalian dapat
melakukannya disana meskipun menunya hanya terbatas pada mie instan plus telor.
Lumayan lah, bisa mengganjal perut.
Setelah menunggu beberapa saat, saya belum
menemukan adanya tanda-tanda dari penyelenggara. Akhirnya, saya menghubungi
nomor atau contact person yang
tercantum di situs tempat memesan tiket perjalanan ini. Dari nomor tersebut, saya
diarahkan kepada penyelenggara lapangannya. Ternyata dia telah berada disana
sebelum saya sampai.
Setelah peserta yang terkumpul cukup banyak,
penyelenggara lapangan tersebut pun memberi pengarahan kepada kami terkait
ketentuan dalam perjalanan nantinya. Salah satunya adalah, “Jangan buang sampah
sembarangan.” Disamping itu, kami kemudian melakukan doa bersama sebelum
melakukan perjalanan.
Akhirnya, sekitar pukul 08.00 WIB, saya bersama
teman-teman baru dalam satu rombongan yang berjumlah sekitar 20 orang berangkat
ke Pulau Kelor. Perjalanan ke Pulau Kelor ditempuh dengan menggunakan perahu
mesin. Namun, menurut Saya, kapal yang kami tumpangi tersebut kurang layak,
karena tidak menyediakan pelampung keselamatan. Disamping itu, kapal tersebut
juga tampak cukup tua. Kecepatannya pun tidak begitu kencang dan suaranya juga
cukup bising.
Perjalanan laut ini terasa cukup menegangkan, karena terkadang
gelombang air laut meninggi dan merendah. Disamping itu, ini merupakan
pengalaman pertama saya menaiki perahu mesin di tengah lautan. Sebelumnya, saya
sudah cukup sering menaiki kapal Feri, namun rasanya tidak menegangkan seperti
yang saya rasakan saat ini. Mungkin ini karena jarak kita dengan air laut
sangatlah dekat.
Setelah melakukan perjalanan selama kurang
lebih 30 s.d 45 menit, kami akhirnya tiba di Pulau Kelor. Pulau Kelor merupakan
pulau terkecil diantara ketiga pulau yang akan dikunjungi. Di pulau ini,
terdapat sebuah benteng yang masih berdiri kokoh. Benteng tersebut bernama
Benteng Martello.
(Benteng Martello)
Dulu, terdapat tiga benteng sejenis. Namun,
karena tergerus oleh ombak laut Jawa yang cukup kencang, dua diantara benteng
tersebut akhirnya roboh. Kini, hanya ada satu benteng yang berdiri di tempat
tersebut. Namun, beberapa pihak mengatakan bahwa beberapa Benteng Martello
tersebut rusak karena letusan Gunung Krakatau tahun 1883.
Untuk mengurangi abrasi yang terjadi, pengelola
juga memasang pemecah ombak, sehingga tidak merusak pulau tersebut.
Pada saat kami kesana, disana juga sedang
dilakukan pembangunan di sejumlah bagiannya. Disamping terdapat bangunan
sejarah, Pulau Kelor juga memiliki pantai yang cukup bagus. Di tempat ini juga,
kita bisa berfoto dengan sesuka hati karena tempatnya sangat cocok untuk
mengambil gambar.
Setelah kurang lebih dua jam berada di Pulau
Kelor, perjalanan pun dilanjutkan dengan menggunakan kapal kecil yang kami
gunakan sebelumnya.
Pulau
Cipir
Pulau ini merupakan pulau kedua yang kami
kunjungi. Letak Pulau Cipir juga masih berdekatan dengan Pulau Kelor, kira-kira
perjalanan selama 15 menit dengan menggunakan kapal.
Setelah sampai di Pulau Cipir, hal pertama yang
kami lakukan adalah berfoto. Namun, sayangnya kondisi di Pulau Cipir kurang
bagus karena sebagian besar bangunan sisa sejarah di tempat tersebut telah
rusak. Hanya ada sisi tembok dari bangunan Rumah Sakit peninggalan masa
penjajahan Belanda.
Disamping itu, di tempat ini juga terdapat
sebuah meriam peninggalan perang Belanda-Inggris pada tahun 1800-1810. Sudah
cukup tua. Kesan pertama ketika melihat meriam tersebut, saya langsung teringat
sebuah game yang sering saya mainkan.
(Meriam peninggalan perang Belanda - Inggris)
Di Pulau Cipir, kami beristirahat bersama,
karena pihak penyelenggara perjalanan telah menyiapkan santap siang. Santap
siang ini juga udah termasuk kedalam biaya akomodasi. Makanannya pun cukup enak
dengan bungkus kota berwarna putihnya.
Satu hal yang perlu diingat ketika melakukan
perjalanan wisata, jagalah kebersihan. Karena kalau mengandalkan penjaga pulau,
tentu sangat tidak memungkinkan. Jadi, kalau mau lokasi wisata Indonesia terus
dikunjungi oleh wisatawan, jangan lupa ya jaga kebersihan.
Di pulau ini juga terdapat sebuah tempat makan,
semacam warung sederhana yang menjual sedikit makanan. Disamping itu, ada juga
kelapa muda yang segar, tentunya cocok diminum saat cuaca sedang panas.
Dahulu, Pulau Cipir dengan Pulau Onrust sebenarnya dihubungkan oleh sebuah jembatan atau tanggul penghubung. Namun sayangnya, jembatan atau tanggul penghubung tersebut telah rusak karena diterjang oleh ombak.
Dahulu, Pulau Cipir dengan Pulau Onrust sebenarnya dihubungkan oleh sebuah jembatan atau tanggul penghubung. Namun sayangnya, jembatan atau tanggul penghubung tersebut telah rusak karena diterjang oleh ombak.
(Salah satu sisi di Pulau Cipir dan bekas jembatan atau tanggul penghubung antara Pulau Cipir dan Pulau Onrust)
Setelah asik berfoto dan bermain-main di Pulau
Cipir, pukul 12.30 WIB, rombongan pun melanjutkan perjalanan ke Pulau Onrust.
(Foto bersama di pintu masuk Pulau Cipir)
Pulau Onrust ini konon katanya berarti tidak
istirahat, atau unrest dalam bahasa
Inggris. Dibandingkan dengan dua pulau sebelumnya, Pulau Onrust merupakan pulau
yang paling luas. Tetapi, saya tidak tahu pasti seberapa lebar pulau ini.
Di pulau ini juga fasilitasnya lebih lengkap,
karena terdapat tempat ibadah berupa musholla dan kantin yang cukup lengkap
persediaannya. Namun, saya sempat merasa tidak nyaman karena semua air yang
digunakan untuk mencuci tangan atau kaki di Pulau Onrust merupakan air laut,
sehingga terasa asin.
Rasa capek yang bertemu dengan rasa dahaga
segera kami hapus dengan segarnya air kelapa muda dicampur es dan gula jawa.
Sruuuuuuuuputtttt…. Segar.
Setelah cukup beristrahat, kami pun melanjutkan
wisata sejarah di pulau ini. Objek pertama yang kami kunjungi adalah rumah peninggalan
seorang dokter pada zaman penjajahan Jepang yang kini dijadikan museum untuk
menyimpan berbagai benda sejarah. Tidak hanya itu, di pulau ini juga terdapat
miniautur yang merupakan replica dari bangunan yang ada di Pulau Onrust.
Pulau Onrust dahulunya digunakan sebagai tempat
peristirahatan oleh raja-raja Banten. Tetapi dalam perkembangannya, terjadi
persengketaan antara raja Banten dengan Jayakarta. Hingga akhirnya Belanda
datang menjajah.
Belanda menjadikan Pulau Onrust sebagai karantina
calon haji dan para haji yang pulang dari ibadahnya di Saudi Arabia. Menurut
cerita, hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menetralisir berbagai
pemikiran pemberontakan. Namun, di pulau ini juga terdapat makam dari
orang-orang Belanda yang meninggal dunia karena penyakit yang disebarkan oleh
tikus.
Selanjutnya, pada masa penjajahan Jepang, Pulau
Onrust dijadikan sebagai pada masa penjajahan Belanda. Kemudian pada masa
Penjajahan Jepang, tempat ini dijadikan sebagai penjara dan pengasingan atau
penjara bagi penjahat kriminal kelas berat.
Hingga akhirnya pada masa Kemerdekaan, Pulau
Onrust dijadikan sebagai Rumah Sakit Karantina, tempat penampungan bagi para gelandangan dan pegemis. Bahkan sempat
dimanfaatkan sebagai tempat latihan militer.
Dibalik cerita sejarah Pulau Onrust ini, tersimpan
sebuah kisah cinta antara sepasang pemuda dan pemudi bangsa Belanda. Namun,
sayangnya kisah tersebut cukup menyedihkan karena perempuan Belanda ini tidak
sempat melihat lagi kekasihnya yang berencana akan menyusulnya ke Pulau Onrust.
Hingga akhirnya, si perempuan tersebut meninggal dunia karena sakit yang dideritanya.
Rasa cinta si perempuan Belanda terhadap
kekasihnya tersebut juga diabadikan melalui sebuah puisi. Yang mana, puisi
tersebut juga diabadikan diatas batu nisan perempuan Belanda tersebut. Namun,
sayangnya bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda, sehingga jarang yang
memahaminya. Namun, hampir setiap hari di makam tersebut terdapat bunga melati.
Sehingga menambah kesan mistis pada makam tersebut.
(Puisi di atas batu nisan perempuan Belanda)
Disamping itu, di Pulau Onrust ini juga
terdapat tiga makam keramat yang konon katanya, salah satu dari makam tersebut
merupakan makam dari Kartosoewiryo, tokoh DI/TII yang dihukum mati pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno. Wusssss, semakin mistis.
Penasaran? Buruan dateng, dan lestarikan cagar budaya kita!
Setelah asik berjalan-jalan, kami pun sampai di penghujung wisata tiga pulau ini. Kegiatan ini pun kami tutup dengan berfoto bersama.
Penasaran? Buruan dateng, dan lestarikan cagar budaya kita!
Setelah asik berjalan-jalan, kami pun sampai di penghujung wisata tiga pulau ini. Kegiatan ini pun kami tutup dengan berfoto bersama.
(Foto bersama di situs Pulau Onrust)